Saturday, February 21, 2009
40 Tahun Berbuat Dosa
Dalam riwayat yang lain pula dijelaskan, bahawa pada zaman Nabi Musa as, kaum bani Israil pernah ditimpa musim kemarau panjang, lalu mereka berkumpul menemui Nabi Musa as dan berkata: “Wahai Kalamullah, tolonglah doakan kami kepada Tuhanmu supaya Dia berkenan menurunkan hujan untuk kami!”
Kemudian berdirilah Nabi Musa as bersama kaumnya dan mereka bersama-sama berangkat menuju ke tanah lapang. Dalam suatu pendapat dikatakan bahawa jumlah mereka pada waktu itu lebih kurang tujuh puluh ribu orang.
Setelah mereka sampai ke tempat yang dituju, maka Nabi Musa as mulai berdoa. Diantara isi doanya itu ialah: “Tuhanku, siramlah kami dengan air hujan-Mu, taburkanlah kepada kami rahmat-Mu dan kasihanilah kami terutama bagi anak-anak kecil yang masih menyusu, haiwan ternak yang memerlukan rumput dan orang-orang tua yang sudah bongkok. Sebagaimana yang kami saksikan pada saat ini, langit sangat cerah dan matahari semakin panas.
Tuhanku, jika seandainya Engkau tidak lagi menganggap kedudukanku sebagai Nabi-Mu, maka aku mengharapkan keberkatan Nabi yang ummi iaitu Muhammad SAW yang akan Engkau utus untuk Nabi akhir zaman.
Kepada Nabi Musa as Allah menurunkan wahyu-Nya yang isinya: “Aku tidak pernah merendahkan kedudukanmu di sisi-Ku, sesungguhnya di sisi-Ku kamu mempunyai kedudukan yang tinggi. Akan tetapi bersama denganmu ini ada orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan maksiat selama empat puluh tahun. Engkau boleh memanggilnya supaya ia keluar dari kumpulan orang-orang yang hadir di tempat ini! Orang itulah sebagai penyebab terhalangnya turun hujan untuk kamu semuanya.”
Nabi Musa kembali berkata: “Wahai Tuhanku, aku adalah hamba-Mu yang lemah, suaraku juga lemah, apakah mungkin suaraku ini akan dapat didengarnya, sedangkan jumlah mereka lebih dari tujuh puluh ribu orang?” Allah berfirman: “Wahai Musa, kamulah yang memanggil dan Aku-lah yang akan menyampaikannya kepada mereka!.”
Menuruti apa yang diperintahkan oleh Allah, maka Nabi Musa as segera berdiri dan berseru kepada kaumnya: “Wahai seorang hamba yang durhaka yang secara terang-terangan melakukannya bahkan lamanya sebanyak empat puluh tahun, keluarlah kamu dari rombongan kami ini, karena kamulah, hujan tidak diturunkan oleh Allah kepada kami semuanya!”
Mendengar seruan dari Nabi Musa as itu, maka orang yang durhaka itu berdiri sambil melihat ke kanan ke kiri. Akan tetapi, dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari rombongan itu. Dengan demikian tahulah dia bahawa yang dimaksudkan oleh Nabi Musa as itu adalah dirinya sendiri. Di dalam hatinya berkata: “Jika aku keluar dari rombongan ini, nescaya akan terbukalah segala kejahatan yang telah aku lakukan selama ini terhadap kaum bani Israil, akan tetapi bila aku tetap bertahan untuk tetap duduk bersama mereka, pasti hujan tidak akan diturunkan oleh Allah SWT.”
Setelah berkata demikian dalam hatinya, lelaki itu lalu menyembunyikan kepalanya di sebalik bajunya dan menyesali segala perbuatan yang telah dilakukannya sambil berdoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah durhaka kepada-Mu selama lebih empat puluh tahun, walaupun demikian Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku dan sekarang aku datang kepada-Mu dengan ketaatan maka terimalah taubatku ini.”
Beberapa saat selepas itu, kelihatanlah awan yang bergumpalan di langit, seiring dengan itu hujan pun turun dengan lebatnya bagaikan hanya ditumpahkan saja dari atas langit.
Melihat keadaan demikian maka Nabi Musa as berkata: “Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami, bukankah di antara kami tidak ada seorangpun yang keluar serta mengakui akan dosa yang dilakukannya?”
Allah berfirman: “Wahai Musa, aku menurunkan hujan ini juga di sebabkan oleh orang yang dahulunya sebagai sebab Aku tidak menurunkan hujan kepada kamu.”
Nabi Musa berkata: “Tuhanku, lihatkanlah kepadaku siapa sebenarnya hamba-Mu yang taat itu?”
Allah berfirman: “Wahai Musa, dulu ketika dia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang. Aku akan membuka aibnya itu ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat benci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?”
Thursday, February 19, 2009
Sepotong Roti Penebus Dosa
Abu Burdah bin Musa Al-Asy’ari meriwayatkan, bahawa ketika menjelang wafatnya Abu Musa pernah berkata kepada puteranya: “Wahai anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seseorang yang mempunyai sepotong roti.”
Dahulu kala di sebuah tempat ibadah ada seorang lelaki yang sangat tekun beribadah kepada Allah. Ibadah yang dilakukannya itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun. Tempat ibadahnya tidak pernah ditinggalkannya, kecuali pada hari-hari yang telah ia tentukan. Akan tetapi pada suatu hari, dia digoda oleh seorang wanita sehingga diapun tergoda dalam pujuk rayunya dan bergelimang di dalam dosa selama tujuh hari sebagaimana perkara yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Setelah ia sadar, lalu ia pun bertaubat, sedangkan tempat ibadahnya itu ditinggalkannya, kemudian ia melangkahkan kakinya pergi mengembara dengan tidak luput dari mengerjakan solat dan bersujud.
Akhirnya dalam pengembaraannya itu ia sampai ke sebuah gubuk yang di dalamnya terdapat dua belas orang fakir miskin, sedangkan lelaki itu juga bermaksud untuk menumpang bermalam di sana. Disebabkan keletihan dari sebuah perjalanan yang sangat jauh, akhirnya dia tertidur bersama dengan fakir miskin penghuni gubuk itu.
Rupanya di sebelah gubuk tersebut hidup seorang shalih yang pada setiap malamnya selalu mengirimkan beberapa potong roti kepada fakir miskin yang menghuni gubuk itu, diberinya setiap mereka sepotong roti. Pada waktu yang lain, datang pula orang lain yang membagi-bagikan roti kepada setiap fakir miskin yang berada di gubuk tersebut, begitu juga dengan lelaki yang sedang bertaubat kepada Allah itu juga mendapat bagian, karena disangka sebagai orang miskin.
Rupanya salah seorang di antara orang miskin itu ada yang tidak mendapat bagian dari orang yang membagikan roti tersebut, sehingga kepada orang yang membagikan roti itu ia berkata: “Mengapa kamu tidak memberikan roti itu kepadaku”. Orang yang membagikan roti itu menjawab: “Kamu dapat melihat sendiri, roti yang aku bagikan semuanya telah habis, dan aku tidak memberi kepada mereka lebih dari sepotong roti.”
Mendengar ungkapan dari orang yang membagikan roti tersebut, maka lelaki yang sedang bertaubat itu lalu mengambil roti yang telah diberikan kepadanya dan memberikannya kepada orang yang tidak mendapat bagian tadi. Pada keesokan harinya, orang yang bertaubat itu meninggal dunia.
Di hadapan Allah, maka ditimbanglah amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang yang bertaubat itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun dengan dosa yang dilakukannya selama tujuh malam. Ternyata hasil dari timbangan tersebut, amal ibadat yang dilakukan selama tujuh puluh tahun itu dikalahkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya selama tujuh malam. Akan tetapi ketika dosa yang dilakukannya selama tujuh malam itu ditimbang dengan sepotong roti yang pernah diberikannya kepada fakir miskin yang sangat memerlukannya, ternyata perbuatan tersebut dapat mengalahkan perbuatan dosanya selama tujuh malam itu.
Kepada anaknya Abu Musa berkata: “Wahai anakku, ingatlah olehmu akan orang yang memiliki sepotong roti itu!”
Nabi Sulaiman Dan Semut
Sulaiman bin Daud adalah satu-satunya Nabi yang memperoleh keistimewaan dari Allah SWT sehingga ia mampu memahami bahasa binatang. Dia berbicara dengan burung Hud Hud dan juga semut. Dalam Al-Quran surah An Naml, ayat 18-26 adalah contoh dari sebahagian ayat yang menceritakan akan keistimewaan Nabi yang sangat kaya raya ini.
Menurut sejumlah riwayat, pernah suatu ketika Nabi Sulaiman as bertanya kepada seekor semut, “Wahai semut! Berapa banyak engkau perolehi rezeki dari Allah dalam waktu satu tahun?”. “Sebesar biji gandum,” jawabnya. Kemudian, Nabi Sulaiman memberi semut sebutir gandum lalu memeliharanya dalam sebuah botol. Setelah genap satu tahun, Beliau membuka botol untuk melihat nasib sang semut. Namun, didapatinya si semut hanya memakan sebahagian biji gandum itu. “Mengapa engkau hanya memakan sebahagian dan tidak menghabiskannya?” tanya Nabi Sulaiman. “Dahulu aku bertawakal dan pasrah diri kepada Allah,” jawab si semut. “Dengan tawakal kepada-Nya aku yakin bahawa Dia tidak akan melupakanku. Ketika aku berpasrah kepadamu, aku tidak yakin apakah engkau akan ingat kepadaku pada tahun berikutnya sehingga boleh memperoleh sebiji gandum lagi atau engkau akan lupa kepadaku. Kerana itu, aku harus tinggalkan sebahagian sebagai bekal tahun berikutnya.”
Nabi Sulaiman, walaupun ia sangat kaya raya, namun kekayaannya adalah nisbi dan terbatas. Yang Maha Kaya secara mutlak hanyalah Allah SWT semata-mata. Nabi Sulaiman, meskipun sangat baik dan pengasih, namun yang Maha Baik dan Maha Pengasih dari seluruh pengasih hanyalah Allah SWT semata. Dalam diri Nabi Sulaiman tersimpan sifat terbatas dan kenisbian yang tidak dapat dipisahkan; sementara dalam Zat Allah terdapat sifat mutlak dan absolut.
Bagaimanapun kayanya Nabi Sulaiman, dia tetap manusia biasa yang tidak bisa sepenuhnya dijadikan tempat bergantung. Bagaimana pun pengasihnya Nabi Sulaiman, dia adalah manusia biasa yang menyimpan kedaifan-kedaifannya tersendiri. Hal itu diketahui oleh sang semut. Karena itu, dia masih tidak percaya kepada janji Nabi Sulaiman kepadanya. Bukan karena khawatir Nabi Sulaiman akan ingkar janji, namun khawatir kalau-kalau Nabi Sulaiman tidak mampu memenuhinya lantaran sifat manusiawinya. Tawakal atau berpasrah diri bulat-bulat hanyalah kepada Allah SWT semata, bukan kepada manusia.
Wednesday, February 18, 2009
Anjing Musafir
Alkisah,
pada suatu hari Abdullah bin Jaafar sedang bermusafir Ketika sampai di sebuah kebun kurma milik seseorang, dia berhenti untuk melepaskan lelah. Tak jauh dari tempat tersebut, ia bertemu dengan seorang budak sahaya berkulit hitam yang menjaga kebun kurma tersebut. Sejurus lepas itu, budak itu mengeluarkan tiga potong makanan perbekalannya. Tiba-tiba seekor anjing datang menghampirinya, berputar-putar mengelilingi sang budak sambil menyalak sebagai tanda ingin turut mencicipi makanan itu. Lidahnya pun dijulur-julurkannya keluar.
Sang budak merasa iba dan mencampakkan sepotong makanannya ke arah anjing yang dengan sigap memakannya. Kemudian dicampakkannya lagi potongan kedua dan dimakannya pula. Ternyata anjing itu masih enggan untuk meninggalkan tempat itu juga. Maka untuk ketiga kalinya budak hitam itu mencampakkan lagi makanannya. Maka habislah semua bekal si budak tersebut karena diberikan kepada anjing yang datang itu.
Melihat hal itu, Abdullah bin Jaafar merasa sangat heran, seraya berkata “Wahai anakku, berapa banyakkah makananmu sehari di tempat ini?”.“Tiga potong saja yang seluruhnya telah dimakan anjing tadi.” Jawab sang budak. “Mengapa engkau berikan semua kepada anjing itu? Dan engkau sendiri akan makan apa?” Tanya Abdullah. “Wahai tuan. Tempat ini bukanlah kawasan bermain bagi para anjing. Jadi aku yakin dia datang dari tempat yang jauh, sedang bermusafir dan tentu dia sangat lapar. Sedangkan aku sendiri, biarlah tidak makan hari ini sehingga esok.” Jawab si hamba.
Mendengar itu, Abdullah berseru: “Subhanallah. Bagus...bagus. Ternyata Kamu lebih dermawan dari pada saya.”
Karena merasa terharu dan merasa kedermawanannya masih dikalahkan oleh seorang budak hitam, Abdullah bin Jaafar membeli kebun kurma dan sahaya itu dari tuannya. Kemudian dia memerdekakannya, dan kebun kurma itu diberikan kepadanya. Setelah itu, dia pergi meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)